TEKNIK RADIOTERAPI
EKSTERNA KARSINOMA NASOFARING
1. Anatomi
Nasofaring
Nasofaring disebut juga
epifaring, rinofaring yang terletak dibelakang rongga hidung, di atas palatum
molle dan di bawah dasar tengkorak. Bentuknya sebagai kotak yang tidak rata dan
berdinding enam, dengan ukuran melintang 4 sentimeter, tinggi 4 sentimeter dan
ukuran depan belakang 2-3 sentimeter.
Batas-batas nasofaring
dengan organ lain adalah (Viviroy, 2008) :
a. Dinding
depan :
Koana.
b. Dinding
belakang : Merupakan dinding melengkung
setinggi vertebrae I servikalis I dan II.
c. Dinding
atas : Merupakan dasar tengkorak.
d. Dinding
bawah
: Permukaan atas palatum molle
e. Dinding
samping : Di bentuk oleh tulang
maksila dan sfenoid. Dinding samping ini berhubungan dengan
ruang telinga tengah melalui tuba eustachius.
Bagian tulang rawan
dari tuba eustachius menonjol di atas ostium tuba yang disebut torus
tubarius. Tepat di belakang ostium tuba terdapat cekungan kecil disebut resesua
faringeus atau lebih dikenal dengan fosa rosenmuller, yang merupakan
lokalisasi permulaan tumbuhnya tumor ganas nasofaring.
Gambar 2.1 Anatomi
Nasofaring
(http//:brain-klinik-blogspot.com,2008)
Gambar 2.2 Bagian
anatomi Saluran pernapasan atas
(http//:brain-klinik-blogspot.com,2008)
Patologi Karsinoma
Nasofaring (K.S.Clifford Chao dkk, 2000)
Kira-kira 90 %
Karsinoma nasofaring adalah jenis epidermoid atau karsinoma yang tak
terdiferensiasi sedang 10 % sebagian besar merupakan limpoma tetapi juga bisa
berupa plasmacytoma. Sedang tumor yang berasal dari kelenjar liur berupa
melanoma, rhabdomyosarcoma dan chordoma. Karsinoma adenoid cystic pada
nasofaring jarang terjadi, sedang sarcoma kadang muncul dari embrional atau
jaringan ikat. Kebanyakan limpoma nasofaring bersifat limfoma sel mayor
nonhodgkin.
Gambar 2.3
Patologi Karsinoma Nasopharing
(handikinblogofendoscopy.blogspot.com,2008)
Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring
merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di
Indonesia (Susworo, 2007). Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang
berasal dari epitel mukosa atau limfoepitel pada nasofaring. Karsinoma
nasofaring juga dikenal sebagai tumor ganas yang berpotensi tinggi mengadakan
metastasis regional maupun jauh. Karsinoma nasofaring sensitif terhadap
radioterapi maupun kemoterapi ( Mulyarjo, 2002).
Klasifikasi gambaran
histopatologi yang direkomendasikan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO )
sebelum tahun 1991 dibagi menjadi 3 tipe yaitu :
Tipe 1 :
Karsinoma sel skuamosa dengan berkeratinisasi.
Tipe ini dapat dibagi
lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk.
Tipe 2 :
Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi.
Pada tipe ini dijumpai
adanya diferensiasi, tetapi tidak ada
diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan inter sel. Pada
umumnya batas sel cukup jelas.
Tipe 3
: Karsinoma tidak berdiferensiasi.
Pada tipe ini sel tumor
secara individu memperlihatkan
inti yang vesikuler, berbentuk
oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak
terlihat dengan jelas.
Jenis tanpa
keratinisasi dan tanpa diferensiasi mempunyai sifat radiosensitif dan mempunyai
titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr, sedangkan jenis karsinoma sel
skuamosa dengan berkeratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak
menunjukkan hubungan dengan virus Epstein-Barr.
Klasifikasi gambaran
histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1991 dibagi
menjadi 2 tipe, yaitu :
Karsinoma Sel Skuamosa
berkeratinisasi.
Karsinoma non
keratinisasi.
Tipe ini dapat dibagi
lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.
Gambar 2.4 Pasien
Dengan Pembesaran Kelenjar Getah Bening
(Susworo, 2009)
Etiologi Karsinoma
Nasofaring ( Viviroy, 2008 )
Karsinoma nasofaring
disebabkan oleh beberapa faktor, namun sampai saat ini penyebab pasti belum
jelas.
Faktor penyebab
karsinoma nasofaring diantaranya faktor genetik, ras mongoloid merupakan yang
paling banyak terkena. Faktor lingkungan, kultural dan gaya hidup masyarakat
serta makanan yang diawetkan seperti ikan asin yang mengandung zat
nitrosamin juga berhubungan dengan terjadinya karsinoma nasofaring.
Keterlibatan virusEpstein Barr (EBV) dalam timbulnya karsinoma nasofaring
dibuktikan dengan ditemukannya Deoxyrebonucleic Acid (DNA) di dalam
serum plasma penderita karsinoma nasofaring.
Mediator yang dianggap
berpengaruh pada timbulnya karsinoma
nasofaring ialah :
Zat nitrosamin.
Ikan asin mengandung
nitrosamin yang ternyata merupakan mediator penting,. Nitrosamin juga ditemukan
dalam ikan atau makanan yang diawetkan. Juga pada ”QUADID” yaitu daging kambing
yang dikeringkan di tunisia, dan sayuran yang fermentasi (asinan) serta
taoco di Cina .
Keadaan sosial ekonomi
yang rendah.
Lingkungan dan
kebiasaan hidup di Cina, Indonesia dan Kenya, yaitu lingkungan udara yang penuh
dengan asap di rumah-rumah yang kurang baik fentilasinya dapat menimbulkan
karsinoma nasofaring. Pembakaran dupa di rumah-rumah di negara Hongkong juga
dianggap berperan dalam menimbulkan karsinoma nasofaring.
Sering kontak dengan
zat yang dianggap bersifat karsinogen.
Benzopyrene, Benzoathracene (sejenis
hidrokarbon dalam arang batubara), gas kimia, asap industri, asap kayu dan
beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan adalah zat – zat yang dapat menyebabkan
kanker.
Ras dan keturunan.
Ras kulit putih jarang
terkena penyakit karsinoma nasofaring. Bangsa – bangsa di Asia seperti Cina,
baik di negara asal maupun yang di perantauan, ras melayu yaitu Malaysia dan
Indonesia termasuk yang banyak terkena karsinoma nasofaring.
Radang kronis di daerah
nasofaring.
Peradangan
menyebabkan mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen
lingkungan.
Gejala dan Tanda
( Viviroy, 2008, Paulino, 2004)
Karsinoma nasofaring
termasuk penyakit yang sulit disembuhkan, maka diagnosa dan pengobatan yang
sedini mungkin memegang peranan penting untuk mengetahui gejala dini
karsinoma nasofaring, karena tumor masih terbatas di rongga nasofaring.
Gejala dan tanda pada
penderita karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu :
Gejala dini
Gejala
hidung
Berupa epistaksis
(mimisan) ringan atau sumbatan hidung. Untuk itu nasofaring harus diperiksa
dengan cermat kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena sering gejala belum
ada namun tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat di
bawah mukosa (creeping tumor). Tumor yang terus tumbuh menyebabkan permukaan
mukosa meninggi. Pertumbuhan tumor yang berlanjut akan meluas ke dalam rongga
nasofaring, menutupi koana dan menyebabkan hidung buntu yang menetap.
Gejala telinga
Merupakan gejala dini
yang timbul .karena tempat asal tumor dekat muara tuba eustachius (fossa
rosenmuller). Gangguan dapat berupa penyumbatan muara tuba, telinga tengah akan
terisi cairan, cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya
terjadi kebocoran gendang telinga, penderita mengeluh rasa penuh di telinga,
rasa dengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran.
Gejala lanjut
Gejala akibat perluasan
tumor ke jaringan sekitar.
Tumor dapat meluas ke
jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah rongga tengkorak dan belakang
melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan menyebabkan gejala akibat
kelumpuhan otak syaraf yang sering ditemukan adalah penglihatan dobel, mati
rasa di daerah wajah sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah, gangguan
pendengaran serta gangguan penciuman. Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala
hebat akibat penekanan tumor ke selaput otak, rahang tidak dapat dibuka akibat
kekakuan otot-otot yang terkena tumor.
Gejala Metastasis
Sel-sel kanker dapat
ikut mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang
letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis jauh,
sering terjadi pada tulang, hati dan paru. Metastasis ke kelenjar leher dalam
bentuk benjolan di leher.
Diagnosa
Jika ditemukan adanya
kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma
nasofaring, protokol di bawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosa
pasti serta stadium tumor :
Anamnesis
Mencakup keluhan nyeri
kepala, suara bindeng, penglihatan ganda, pendarahan hidung atau mulut serta
nyeri tulang.
Pemeriksaan fisik umum
dengan menilai keadaan umum, pembesaran hati atau nyeri ketok pada tulang
belakang.
Pemeriksaan lokal
menilai kelainan neurologik seperti mata juling, lidah dan mulut yang mencong,
baal di wajah.
Pemeriksaan
regional dengan melihat pembesaran kelenjar getah bening leher.
Biopsi untuk menentukan
tumor primer atau berasal dari metastasis.
Pemeriksaan patologi
anatomi untuk menentukan jenis histopatologi tumor primer.
Pemeriksaan radiologi
polos untuk menilai adanya invasi intrakranial atau destruksi tulang-tulang
tengkorak. CT Scan dan MRI merupakan pemeriksaan yang mutlak dilakukan untuk
menentukan stadium dan tindakan. Sedang pemeriksaan USG untuk mencari
kemungkinan metastasis pada hati. Foto Thoraks rutin dilakukan untuk
kemungkinan metastasis paru.
Pemeriksaan kedokteran
nuklir atas indikasi stadium lanjut dan bila ada keluhan tulang-tulang
panjang atau tulang belakang.
Stadium ( NN, 2008 )
Sistem klasifikasi
stadium karsinoma nasofaring (KNF) yang dipakai saat ini ada beberapa
macam antara lain menurut UICC, AJCC atau sistem Ho. Pada tahun 1997 AJCC (American
Joint Committee on Cancer) AJCC mengeluarkan sistem klasifikasi stadium
terbaru yaitu edisi ke-5, menggantikan edisi ke-4 (1988). Berikut ini adalah
sistem klasifikasi stadium menurut AJCC 1997 :
Stadium T (Ukuran luas
tumor)
T0
Tak ada kanker di lokasi primer
T1
Tumor terletak atau terbatas di daerah nasofaring
T2 Tumor
meluas ke jaringan lunak orofaring dan atau ke kavum nasi.
T2a
Tanpa perluasan ke ruang parafaring
T2b
Dengan perluasan ke parafaring
T3
Tumor menyeberang struktur tulang dan atau sinus paranasal
T4
Tumor meluas ke intrakranial dan atau melibatkan syaraf kranial, hipofaring,
fossa infratemporal atau orbita.
Limfonodi regional (N)
:
N0 Tidak
ada metastasis ke limfonodi regional
N1 Metastasis
unilateral dengan nodus < 6 cm diatas fossa supraklavikula
N2 Metastasis
bilateral dengan nodus < 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N3
Metastasis nodus : N3a
> 6 cm
N3b
meluas sampai ke fossa supraklavikula
Metastasis jauh (M) ::
M0
Tak ada metastasis jauh
M1
Metastasis jauh
Pembagian stadium
berdasarkan klasifikasi TNMnya disusun sebagai berikut seperti pada tabel 2
berikut ini :
Tabel 2.1 Stadium
KNF
T1
|
T2a
|
T2b
|
T3
|
T4
|
|
N0
|
I
|
IIA
|
IIB
|
III
|
IVA
|
N1
|
IIB
|
IIB
|
IIB
|
III
|
IVA
|
N2
|
III
|
III
|
III
|
III
|
IVA
|
N3
|
IVB
|
IVB
|
IVB
|
IVB
|
IVB
|
M1
|
IVB
|
IVB
|
IVB
|
IVB
|
IVB
|
Pengobatan Karsinoma
Nasofaring.
Terapi kanker
nasofaring terutama meliputi operasi , kemoterapi dan radioterapi
Kemoterapi
Kemoterapi sebagai
terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat meningkatkan hasil
terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.
Operasi
Tindakan operasi
pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan
nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca
radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah
dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi.
Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada
kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil
diterapi dengan cara lain.
Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi
masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring
(Perez C.A, 2004). Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah
radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi. Radioterapi adalah metode pengobatan
penyakit-penyakit maligna dengan menggunakan sinar pengion, bertujuan untuk
mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat di
sekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat.
Karsinoma nasofaring
bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap merupakan terapi terpenting
(Gunadi dan Amriatun, 1996). Strategi pengobatan radioterapi konvensional untuk
karsinoma nasofaring lokoregional lanjut adalah radiasi eksterna dengan total
dosis mencapai 66-70 Gy untuk T1-T2 dan 70-75 Gy untuk T3-T4, selama 7 minggu,
5 kali penyinaran dalam seminggu dengan 2 Gy perfraksi. Pada saat dosis
mencapai 40 Gy, medulla spinalis harus dikeluarkan dari lapangan radiasi,
sedangkan dosis untuk leher bawah dan fosa supraklavikula dengan lapangan dari
anterior sampai dengan 50 Gy dengan 2 Gy perfraksi
Pengobatan kanker
dengan menggunakan teknik radioterapi dapat dilakukan dengan cara :
Radiasi Eksterna /
Teleterapi
Sumber sinar
berupa sinar-X atau radioisotop yang ditempatkan di luar tubuh. Sinar
diarahkan ke tumor yang akan diberi radiasi. Besar energi yang diserap oleh suatu
tumor tergantung dari :
Besarnya energi yang
dipancarkan oleh sumber energi
Jarak antara sumber
energi dan tumor
Kepadatan massa
tumor.
Pada radiasi eksterna
cakupan daerah yang memperoleh radiasi cukup luas, meliputi bukan hanya tumor
primer dan jaringan sehat sekitarnya saja tetapi juga kelenjar getah bening
setempat. Makin luas cakupan radiasi makin banyak jaringan sehat yang
terikutserta terkena radiasi. (Susworo R,2007)
Radiasi Interna /
Brachiterapi
Sumber energi ditaruh
di dalam tumor atau berdekatan dengan tumor di dalam rongga tubuh. Adapun
tujuan pemberian brakhiterapi pada karsinoma nasofaring antara lain :
Untuk memberikan dosis
boster pada tumor primer yang telah memperoleh radiasi eksterna.
Untuk menghindari
kelenjar parotis serta jaringan sehat sekitarnya memperoleh dosis berlebihan
dari radiasi eksterna.
Ada beberapa jenis
radiasi interna :
Interstitial
Radioisotop yang berupa
jarum ditusukkan ke dalam tumor, misalnya jarum radium atau jarum irridium.
Intracavitair
Pemberian radiasi dapat
dilakukan dengan :
After loading
Suatu aplikator kosong
dimasukkan ke dalam rongga tubuh ke tempat tumor. Setelah aplikator letaknya
tepat, baru dimasukkan radioisotop ke dalam aplikator itu.
Instalasi
Larutan radioisotop
disuntikkan ke dalam rongga tubuh, misal : pleura atau peritoneum.
(3.) Intravena
Larutan radioisotop
disuntikkan ke dalam vena. Misalnya I131 yang disuntikkan IV akan diserap
oleh tiroid untuk mengobati kanker tiroid.
Penatalaksanaan
Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring
Sebelum diberi terapi
radiasi, dibuat penentuan stadium klinik, diagnosis histopatologik, sekaligus
ditentukan tujuan radiasi, kuratif atau paliatif. Mental dan fisik penderita
perlu dipersiapkan demikian pula keluarganya diberikan penjelasan mengenai
tindakan pengobatan ini, tujuan pengobatan, efek samping yang mungkin timbul
selama periode pengobatan. Pemeriksaan fisik dan laboratorium sebelum radiasi
dimulai mutlak diperlukan.
Penderita dengan
keadaan umum yang buruk, gizi kurang atau demam tidak diperbolehkan untuk
radiasi, kecuali pada keadaan yang mengancam hidup penderita, seperti obstruksi
jalan makanan, perdarahan yang masif dari tumor, radiasi tetap dimulai sambil
memperbaiki keadaan umum penderita. Sebagai tolok ukur, kadar Hb tidak boleh
kurang dari 10 gr%, jumlah lekosit tidak boleh kurang dari 3000 per mm3 dan
trombosit 100.000 per uL.
Penanganan karsinoma
nasofaring yang disesuaikan dengan stadiumnya dapat dijabarkan sebagai berikut
(Kentjono A.W, 2003):
Stadium I :
Radioterapi dosis tinggi pada tumor primer di nasofaring dan radiasi
profilaktik di daerah leher.
Stadium II
: 1) Kemoradiasi, atau
Radioterapi dosis
tinggi pada tumor primer di nasofaring dan radiasi profilatik di
daerah leher.
Stadium III
: 1) Kemoradiasi
2) Radioterapi dosis
tinggi / teknik hiperfraksinasi ditujukan pada tumor primer di nasofaring
dan kelenjar leher bilateral (bila ada).
3) Diseksi leher
mungkin dapat dikerjakan, misalnya pada tumor leher persisten atau renkuren
asalkan tumor primer di nasofaring terkontrol.
Stadium IV
: 1) Kemoradiasi
2) Radioterapi dosis
tinggi atau teknik hiperfraksinasi ditujukan pada tumor
primer di nasofaring dan kelenjar leher bilateral (klinis positif)
3) Diseksi leher
dapat dikerjakan bila tumor leher persisten atau rekuren
asalkan tumor primer di nasofaring sudah terkontrol.
4) Kemoterapi
untuk karsinoma nasofaring untuk stadium IV C
Teknik Radioterapi
eksterna Karsinoma Nasofaring
Persiapan
Salah satu langkah
dalam tahapan penatalaksanaan radioterapi adalah menentukan batas-batas
lapangan radiasi. Tindakan ini merupakan langkah yang terpenting untuk
menjamin berhasilnya suatu radioterapi. Lapangan penyinaran meliputi daerah
tumor primer dan sekitarnya serta kelenjar-kelenjar getah bening regional.
Untuk menentukan batas-batas lapangan radiasi serta perhitungan dosis karsinoma
nasofaring, maka perlu adanya persiapan penyinaran. Adapun persiapan tersebut
meliputi :
Simulator.
Simulasi penyinaran
radioterapi pada dasarnya adalah proses pencitraan sinar-x secara fluoroskopi
yang seolah-olah melakukan teknik penyinaran seperti dengan pesawat treatment
radioterapi yang sesungguhnya. Hal ini diperlukan agar teknik penyinaran
yang akan diberikan pada pasien benar-benar mencapai sasaran secara optimal dan
akurat.
Dari proses simulasi
ini didapatkan beberapa parameter untuk penyinaran, seperti; luas lapangan
penyinaran, sudut dan arah sumber penyinaran, blokade area yang harus dilindungi,
teknik penyinaran, jarak sentrasi dan sudut kolimasi.
Hal-hal yang harus
dimiliki sebagai syarat minimum dari pesawat simulator adalah; memiliki gantry
(C-arm) dengan x-ray tube dan image intensifier yang terpasang berhadapan serta
dapat diputar 360 derajat dari sumbunya, memiliki kolimator yang dapat diputar
360 derajat terhadap axis sentrasi, memiliki indikator penunjuk jarak Source
Axis Distance (SAD), memiliki meja pemeriksaan yang rata, dapat diatur
naik-turun (vertical), maju-mundur (longitudinal), digeser kiri-kanan (lateral)
dan dapat diputar dari axis sejauh 3600 (rotation).
Prinsip dasar dari
proses pencitraan dalam simulasi adalah; set-up posisi simulasi (posisi
pasien), lalu dilakukan fluoroskopi terhadap pasien pada perkiraan lokasi
penyinaran. Gambaran fluoroskopi diteruskan ke image intensifier, lalu
keperangkat sirkuit elektronik dan ditampilkan dimonitor fluoroscopy
(cctv). Kemudian akuisisi posisi simulasi, selanjutnya dilakukan eksposi
radiografi yang menghasilkan foto simulator (foto terapi).
Terapi radiasi
karsinoma nasofaring harus mencakup Clinical Target Volume(CTV) meliputi
daerah yang berpotensi terjadi infiltrasi local 1-2 cm diluar Gross Tumor
Volume (GTV) yaitu tumor nasofaring itu sendiri dan semua perluasan tumor
di sekitar nasofaring termasuk kelenjar getah bening di leher yang membesar.
SementaraPlanning Treatment Volume (PTV) ditentukan kurang lebih 1 cm
diluar CTV.
Pada karsinoma
nasofaring volume target utama lapangan radiasi meliputi (Perez C.A, 2004) :
Tumor primer
Kelenjar getah bening
Daerah postensial
penjalaran.
Untuk penentuan
lapangan radiasi terutama ditentukan oleh distribusi tumor, ekstensi lokal dan
metastasis regional, yaitu:
Untuk lesi T1 dan T2
meliputi nasofaring, dasar sinus sphenoid, klifus, 1/3 posterior kavum nasi,
fosa pterigoid, dinding orofaring sampai level fosa mid tonsilar, kelenjar
retrofaringeal, kelenjar cervical bilateral dan kelenjar supraclavikula.
Untuk Lesi T3 volume
target meliputi perluasan ke ruang parafaringeal, kavum nasi dan atau
orofaring.
Untuk lesi T4 mencakup
dasar tengkorak dan perluasannya ke intra cranial.
Lapangan opposing lateral
(Susworo, 2007) :
Batas atas mencakup
seluruh dasar tengkorak.
Batas anterior berada
di pertengahan palatum durum, mencakup koane.
Batas belakang harus
mengikutsertakan rantai kelenjar getah bening servikalis posterior dan seluruh
jaringan lunak leher.
Batas bawah mencakup
seluruh mandibula, kira-kira setinggi C1,C2 dan C3.
Untuk mengurangi
lapangan radiasi diperlukan blok pada jaringan sehat sebagian mukosa
mulut serta sebagian gigi geligi.
Gambar 2.5 Lapangan opposing lateral
(Susworo,2007)
Dosis diberikan 1,8 Gy
– 2 Gy perfraksi yang diberikan 5 kali dalam seminggu sehingga dosis mencapai
66 – 70 Gy dengan memperhatikan lapangan radiasi. Pada saat dosis mencapai 40
Gy, medulla spinalis harus dikeluarkan dari lapangan radiasi, berarti
batas belakang maju ke arah anterior. Dengan lapangan yang terbatas ini dosis
dilanjutkan sampai mencapai 66 – 70 Gy tergantung pada keadaan umum pasien
serta reaksi lokal.
Gambar 2.6 Pengecilan Lapangan opposing lateral
(Susworo, 2007)
Selanjutnya radiasi
pada rantai kelenjar getah bening leher serta klavikula dilakukan dari
arah anterior dengan batas-batas sebagai berikut:
Batas atas berada 0,5
cm caudal dari batas bawah lapangan nasofaring.
Batas bawah dan lateral
mencakup seluruh fosa klavikula kiri dan kanan.
Dilakukan penutupan
bagian tengah leher guna melindungi sebagian kelenjar gondok, laring dan
trachea serta medulla spinalis.
Kedua sudut bawah
lapangan ini ditutup guna melindungi apex paru.
Dosis diberikan dengan
fraksi yang sama sehingga mencapai 40 Gy – 45 Gy yang dihitung pada kedalaman 3
– 3,5 cm tergantung pada ketebalan pasien.
Gambar 2.7 Lapangan
Supraklavikula,
(Asroel,
2002)
Pada karsinoma
nasofaring dengan pembesaran getah bening leher, tidak mungkin diberikan
radiasi dengan metode lapangan supraklavikula dan lapangan oppossing kanan
kiri. Pada 20 Gy pertama dapat diberikan dengan lapangan anteroposterior dan
posteroanterior dengan rentang lapangan dari sinus frontalis sampai
dengan fosa supraklavikula dengan megindahkan daerah daerah yang perlu
dilindungi. Setelah itu lapangan diubah sesuai dengan stadiumnya dengan harapan
bahwa dosis 20 Gy tersebut dapat memperkecil kelenjar sehingga dimungkinkan
pemberian radiasi laterolateral. Setelah medulla spinalis mendapat dosis
40 Gy dilakukan pengecilan lapangan radiasi. Kelenjar yang berada di luar
lapangan radiasi setelah dilakukan pengecilan diberikan dosis kompensasi
sebesar 10 Gy. (Susworo, 2007).
Upaya untuk melindungi
organ-organ vital dalam lapangan radiasi merupakan salah satu perhatian utama
terapi radiasi. Hal ini bukan hanya untuk melindungi organ-organ penting,
tetapi juga menghindari radiasi yang tidak perlu pada jaringan normal di
sekitarnya.
Gambar 2.8 Nodule kelenjar lymfenodi Nasofaring
(Kumar)
|
|||
Keterangan
Gambar
Preauricular
Submental
Submaxillari
Subdigastric
Upper Posterior
Cervical
|
Midjugular
Mid Posterior
Cervical
Lower Jugular
Supraclavukular
Low Posterior
Cervical
|
Ruang cetak (Mould
room) (Susworo R, 2007)
Di ruang cetak ini dilakukan pembuatan berbagai peralatan bantu, seperti
pembuatan masker sebagai alat fiksasi pada saat radiasi ekterna kepala dan leher.
Dilakukan pula pembuatan kompensator (bolus) yang terbuat dari lilin atau wax.
TPS ( Treatment
Planning System ) ( Jauhari, 2007)
Treatment Planning
System atau dapat pula disebut dengan sistem perencanaan radiasi merupakan
suatu proses yang sistematik dalam membuat rencana strategi terapi radiasi.
Meliputi sekumpulan instruksi dari prosedur radioterapi dan mengandung
deskripsi fisik, serta distribusi dosis berdasar pada informasi
geometrik/topografi yang ada pada pencitraan (imajing) agar terapi radiasi
dapat diberikan secara tepat. TPS ini dalam tampilannya bisa 2D bisa juga 3D.
Tujuan sistem
perencanaan radiasi 2D dan 3D adalah untuk menyesuaikan dosis pada volume
target dan mengurangi dosis untuk jaringan normal atau organ beresiko yang ada
di sekitarnya.
Sistem perencanaan
terapi radiasi meliputi :
Posisi pasien terapi.
Imobilisasi.
Mengumpulkan data
pencitraan pasien.
Menetapkan volume
target dan organ-organ beresiko berdasarkan kumpulan data bentuk-bentuk sinar
yang didesain secara grafis dan orientasi sinar.
Bentuk lapangan yang
dipilih menggunakan Biological Efek Volume (BEV)
Distribusi dosis 3
dimensi.
Kalkulasi menggunakan
algoritma tiga dimensi dan perbandingan informasi yang didapat dari Histogram
Dosis Volume (DHV)
TPS terdiri dari 3
komponen pokok, yaitu:
Hardware. Komponen
hardware terdiri dari Central Prosesor Unit (CPU), High resolution graphics,
mass storage (hard disc), disks/CD-ROM, keyboard & mouse, high resolution
graphics monitor, digitizer, laser/color printer, backup storage facility,
network connections.
Software. Komponen
software terdiri dari: Input routines, bentuk dari anatomi, beam geometry
(virtual simulation), kalkulasi dosis, dosis volume histogram, digital
recontruction radiographic.
Image Acquisition.
Ada 2 faktor yang
sangat berperan pada pembuatan TPS antara lain:
Simulasi atau
lokalisasi daerah radiasi
Pelaksanaan simulasi
ini dilakukan di ruang simulator, di sini seolah-olah pasien dilakukan radiasi.
Untuk itu jarak sumber sinar ke kulit dan posisi pasien harus sama, baik itu di
ruang simulator maupun diruang cobalt 60 /linac.
Computer Tomografi (CT)
Planning/CT Simulator
CT.Scan/CT.Planning
penting untuk perencanaan terapi dan merupakan kebutuhan utama data imajing
untuk 3 Dimention Radiation Therapy Treatment Planning (3D
RTTP/Perencanaan Terapi Tiga Dimensi). Perencanaan CT Scan ádalah melokalisasi
tumor dengan jumlah irisan yang sangat banyak dan ketebalan 2–10 mm. Semakin
tipis irisan maka jumlah irisan akan semakin banyak dengan demikian kualitas
pencitraan dapat meningkat.
Rincian bentuk tumor
dan ukuran untuk GTV, struktur organ kritis dan CTV, PTV dilakukan oleh staf
perencanaan terapi dan ahli onkologi radiasi. Struktur–struktur ditandai secara
manual menggunakan sebuah mouse atau bentuk lain dari digitizer.Beberapa
struktur dengan batasan yang jelas misalnya kulit dapat terkontur secara
otomatis. Jika menggunakan piranti lunak yang modern maka pemberian tanda
(kontur) membutuhkan waktu sekitar 1–2 jam untuk sebuah seri perencanaan terapi
tiga dimensi secara lengkap.
Penatalaksanaan
radioterapi eksterna karsinoma nasofaring
Upaya untuk mendapatkan
ketepatan lapangan radiasi adalah dengan posisioning dan imobilisasi yang
tepat. Posisi pasien telentang di atas meja pemeriksaan, dengan mengatur posisi
tubuh pasien selurus mungkin dengan bantuan laser sebagai langkah awal untuk
posisioning
Gambar 2.9 Posisi Anatomi Pasien
(Bentel G.C,1996)
Teknik imobilisasi untuk
pengobatan radiasi di daerah kepala dan leher membutuhkan reproduksibilitas
set-up yang sangat tepat, karena dekat dengan mata, chiasma opticum, jalinan
saraf dan otak, terutama jika dosis untuk daerah sasaran melebihi toleransi
organ-organ didekatnya (Bentel G.C,1996).
Dua
faktor yang paling penting dalam mempertahankan posisi pasien adalah nyaman dan
tidak bergerak. Oleh karena itu dibutuhkan alat imobilisasi pasien seperti
masker kepala leher supraclavikula dan bantalan kepala. Perlu ditekankan bahwa
penggunaan masker sebagai fiksasi kepala pada radiasi karsinoma nasofaring atau
kanker kepala leher lainnya adalah mutlak untuk menjamin ketepatan
radiasi.(Susworo, 2007).Pada radiasi daerah kepala dan leher,
teknik-teknik imobilisasi yang efektif sangat penting guna menghindari
organ-organ didekatnya yang sensitif dengan radiasi.
Gambar
2.10 Bantalan Kepala dan Leher
(Bentel
G.C,1996)
Gambar
2.11 Masker/Imobilisasi Kepala-Supraclavikula
(Susworo, 2009)
Pasien biasanya
sangat nyaman jika dalam posisi telentang dengan kepala posisi netral (yaitu
kening dan dagu terletak pada posisi horizontal).
Kenyamanan bantal
kepala yang pas dengan ketebalan memadai dapat membantu pasien dalam
mempertahankan posisi tanpa ketegangan
Gambar
2.12 Imobilisasi Bantal Kepala yang Tidak Pas
(Bentel
G.C,1996)
Namun jika bantal
daerah leher lebih tinggi dan daerah kepala terdapat ruang untuk bergerak maka
pasien akan tidak nyaman. Meninggikan dada dengan bantal akan membantu ekstensi
kepala pasien sehingga spinal lurus dan terletak baik dalam lapangan radiasi
Sumber
: http://hardy-cakrawala.blogspot.co.id/2010/11/teknik-radioterapi-eksterna-karsinoma.html